Kamis, 06 September 2012

Kalimat 'Menggairahkan' Tentang Tanah

         Dramaga, 6 september 2012 (08.00 WIB). "Jangan jadikan otak anda sebagai gudang, tapi perlakukan otak anda sebagai pabrik". Sontak saja terkaget mendengar kalimat pembuka yang terlontar dari Bapak Budi Nugraha, seorang dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Tanah. Loh, ilmu tanah kok pembukaanya malah filosofi? Ya, itulah yang penulis terima di hari pertama kuliah Pengantar Ilmu Tanah. Mata kuliah yang sebenarnya bukan dari departemen pengampu si penulis. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah wajib yang harus penulis ambil dari departemen lain. 
                Kalau otak anda dijadikan gudang, setelah anda keluarkan isinya maka tidak ada lagi yang tersisa. Tapi jika anda memperlakukan otak anda sebagai pabrik, maka anda tidak perlu khawatir karena otak anda akan tetap bisa memproduksi apa yang sudah otak anda keluarkan. Itulah kelanjutan kalimat yang Pak Budi sampaikan. Cukup menarik untuk dicermati. Tentunya tiap orang bebas untuk menafsirkan apa yang beliau sampaikan. Penulis pun masih terus mencoba mengeksplorasi kalimat yang Pak Budi sampaikan. Apa sebenarnya yang beliau ingin sampaikan? Lagi-lagi jawabannya terserah bagaimana otak anda berkreasi untuk menafsirkan kalimat Pak Budi. Yang jelas jangan perlakukan otak anda sebagai gudang, tapi sebagai pabrik.
                Kuliah hari ini memang baru pendahuluan, itu sebabnya Pak Budi mengawali kuliah dengan sebuah statement yang cukup 'menggairahkan'. Anehnya lagi, ternyata tidak sampai disitu pernyataan-pernyataan 'menggairahkan' dari Pak Budi. Tiap materi mengenai Ilmu Tanah yang beliau sampaikan selalu dihubungkan dengan realita sosial, beliau beberapa kali menyebut dengan istilah dimensi sosial. Ya, mungkin memang sudah selayaknya mahasiswa diajak untuk peka terhadap realita sosial yang ada di sekitarnya. 
                "Apakah Anda siap hidup di rumah susun? Rumah yang tidak berpijak pada tanah secara luas." Lagi, pertanyaan itu sungguh 'menggairahkan' bagi penulis. Mencoba berpikir beberapa detik, penulis akhirnya sadar bahwa begitulah realita sosial yang akan dihadapi. Di mana keterbatasan lahan akan 'memaksa kita untuk tinggal di rumah susun, kecuali jika kita mau terus mengkonversi lahan pertanian menjadi perumahan. Apakah kita sudah tidak mau memproduksi pangan dengan terus mengubur sawah menjadi gugusan beton? Semoga para developer sadar akan hal itu, dan sebagai generasi penerus tentunya kita wajib memikirkannya juga.
              Tidak berhenti disitu, menyangkut masalah korupsi yang merebak di bangsa ini, Pak Budi bertanya apakah maling itu sama dengan koruptor? Jawabannya sudah barang tentu "Ya". Pembedanya hanyalah bagaimana cara mencurinya. Ketika 230 juta warga Indonesia dicuri uangnya masing-masing seribu rupiah, maka tidak akan ada yang merasa. Tapi ketika seorang warga Indonesia dicuri uangnya satu juta rupiah, tentu rasa kehilangan akan menggelayuti. Itulah dua prinsip mencuri yang amat berbeda dari maling konvensional dengan maling modern. Pertanyaanya, apakah kita sadar akan hal ini?
               Pejabat mengatakan pupuk sudah terdistribusi secara merata ke seluruh pelosok nusantara. Pak Budi dengan lantang mengatakan "Itu semua bohong, coba pejabat yang ngomong itu suruh turun langsung ke  desa-desa untuk memastikannya!". Hidup jangan berpijak pada lidah, karena lidah tidak bertulang. Berpijaklah pada bumi. Begitu kata Pak Budi. Bagaimana mungkin pengambil kebijakan bisa menentukan kebijakan yang tepat untuk masalah kemiskinan kalau peserta rapat pembahasan kemiskinan saja tidur di hotel mewah dan makan makanan enak. "Pejabat itu pandai beretorika", tutup Pak Budi.
                Lagi, sebuah pertanyaan tajam tertuju pada mahasiswa, "Siapa yang sebelum kuliah menyiram tananam dulu?" Tidak ada yang menjawab. Dengan sorot mata tajamnya Pak Budi melanjutkan, "berani-beraninya kaliah bernafas kalo ngga nyiram tanaman. Kalian pikir siapa yang mampu menghasilkan oksigen?" Dengan logat jawanya Pak Budi begitu menggebu-gebu mengatakannya. Mahasiswa hanya tersenyum malu. Kembali sebuah pertanyaan 'menggairahkan' terlontar dari Pak Budi, "siapa yang makan nasinya ngga bersisa sebutirpun tadi pagi?" Seorang mahasiswa menjawab, "sarapan saja belum Pak." Pak Budi tak menggubrisnya, beliau melanjutkan "coba kalo tiap orang Indonesia sarapannya menyisakan satu bulir nasi, berapa bulir nasi yang terbuang?" Lebih dari 230 juta bulir nasi. Bayangkan bahwa untuk menghasilkan padi, petani harus menunggu 3 bulan, dan kita membuangnya begitu saja.
                    Tanpa sadar, ternyata penulis justru banyak mencatat kalimat-kalimat falsafah dari Pak Budi daripada materi tentang Ilmu Tanah yang menjadi mata kuliah wajib bagi penulis. Tidak terasa jam kuliah pun berakhir. Satu kalimat 'menggairahkan' kembali terlontar dari Pak Budi. Hidup itu sederhana saja, HIDUP ITU HANYA BERBUAT DAN BERTANGGUNG JAWAB. Itulah kalimat penutup dai Pak Budi, tetap dengan logat jawanya.
SEKIAN

(Ditulis oleh seorang mahasiswa  yang duduk di paling belakang pada kuliah perdana   Pengantar Ilmu Tanah. Ruang RK 16 FAC 401 A  pada  pukul 08.00-09.40 WIB , Bogor Agricultural University)
Terima Kasih Bapak Budi Nugraha.
                   

Translate