Perubahan
iklim menjadi pembicaraan hangat yang makin populer di abad ini. Istilah gas
rumah kaca melekat erat dengan perubahan iklim global. Disinyalir, gas-gas
inilah aktor utama dibalik fenomena perubahan iklim global. Akan tetapi,
manusialah yang paling bertanggung jawab atas fenomena perubahan iklim ini.
Masyarakat
bumi saat ini tidak hanya merasakan kenaikan suhu rata-rata bumi, namun ada
banyak efek berantai yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup mahluk bumi.
Salah efek perubahan iklim global adalah menurunya keanekaragaman hayati di
bumi.
Penurunan
keanekaragaman hayati terjadi karena banyaknya spesies yang mati akibat
memburuknya iklim global, sehingga beberapa spesies tidak mampu menyesuaikan
diri lagi dengan lingkungan. Selain itu, perubahan iklim secara perlahan namun
pasti dapat mempengaruhi sebaran vegetasi di permukaan bumi. Nyatanya tidak
hanya hewan yang terpengaruh seberannya akibat perubahan iklim, vegetasi pun
turut menyesuaikan diri dengan perubahan iklim.
Berdasarkan
riset NHREEL, efek emisi gas rumah kaca meliputi dua hal utama, yaitu siklus
karbon global dan biodiversitas di bumi.
Menariknya, dengan menghangatnya bumi akibat meningkatnya gas rumah
kaca, redistribusi vegetasi dapat mempengaruhi terestrial biosfer untuk menjadi
sumber CO2 baru (mempercepat pemanasan global), atau sebaliknya
menjadi penyerap emisi gas rumah kaca (khusunya CO2). Sebagai
gambaran, bumi yang hangat akan mendukung hutan-hutan yang kaya akan stok
karbon. Akan tetapi, hal ini tidaklah menggembirakan karena banyak vegetasi
yang tidak tahan terhadap suhu yang terlalu panas. Hal ini menyebabkan
keanekaragaman hayati menurun. Contoh lainnya adalah, mulai adanya vegetasi
yang tumbuh di daerah yang dulunya hanya bisa ditempati oleh organisme yang
tahan terhadap cuaca ekstrem (dingin). Beberapa bagian di kutub bumi yang
nampak sedikit menghijau menunjukan bahwa suhu disana mulai memungkinkan adanya
vegetasi baru yang notabene tidak begitu tahan dingin. Artinya, suhu di kutub
relatif meningkat.
Menurut
Kirilenko dan Solomon (1997), kapasitas terestrial biodiversitas untuk
mereduksi dan menyimpan karbon atmosfer akan lebih besar jika suhu bumi tidak
terus meningkat. Ada satu hal yang perlu dicermati bahwa peningkatan
intensifikasi pertanian di daerah lintang tinggi akan mengakibatkan penurunan
secara permanen kemampuan bumi untuk menyimpan karbon dari kemampuan aslinya.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dunia ditengah
ancaman krisis pangan dan makin sedikitnya lahan pertanian. Akan tetapi,
intensifikasi pertanian justru memiliki dampak terhadap menurunnya kemampuan
bumi untuk menyimpan karbon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar